Kurniawan tidak seperti Ramang yang lahir dari Makassar, daerah yang notabene punya tradisi kuat sepak bola. Dia bukan pula Syamsul Arifin yang tumbuh di Surabaya, sebuah kota yang merupakan produsen utama pemain andal sepak bola Indonesia.
Dia juga tidak berjalan layaknya Ajat Sudrajat yang berkembang di Bandung. Sebuah nama yang memiliki ikon sepak bola Jawa Barat bernama Persib Bandung. Dia tidak pula seperti Ricky Yakobi yang besar di Medan. Kawasan yang masyarakatnya akrab dan gila dengan si kulit bundar.
Ya, Kurniawan hanyalah lahir dari sebuah daerah di seberang Jogjakarta bernama Magelang. Sudah barang tentu, Magelang tidaklah sama seperti Makassar, Surabaya, Bandung, dan Medan. Magelang bukanlah poros utama sejarah sepak bola tanah air seperti yang disandang empat kota tersebut. Meski demikian, striker yang akrab disapa Kurus itu tidak kalah jika dibandingkan mereka. Kurus punya talenta dan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan bintang-bintang asal kota itu.
Nama Kurniawan bahkan begitu tersohor di jagat sepak bola Asia pada pertengahan 90-an. Sebab, kala itu, pemain yang lahir 13 Juli 1976 tersebut berhasil mencatatkan diri sebagai salah seorang di antara sedikit pemain Asia yang bermain di Eropa. Kurniawan pernah berbaju Samdoria junior. Putra pasangan Budi Rijanto-Nooraini tersebut juga pernah berkiprah di Liga Swiss bersama FC Luzern pada musim 1995/1996.
Untuk urusan di Tim Nasional (Timnas) Indonesia, catatan Kurniawan tak kalah apik. Dia selalu menjadi langganan utama sejak 1993 hingga 2004 dengan menyandang kostum nomor 10. Dari data yang dilansir ensiklopedia maya Wikipedia Indonesia, Kurniawan bahkan tercatat sebagai pemain dengan caps terbanyak di Timnas Indonesia. Kurniawan telah tampil 60 kali. Kurus juga dibukukan sebagai penyumbang gol terbanyak dengan donasi 33 gol sebelum akhirnya rekor golnya dikalahkan oleh bambang pamungkas
Memang tak ada gading yang tak retak. Begitu pula Kurniawan. Pemain yang menekuni sepak bola dari Sekolah Sepak Bola (SSB) Wajar Magelang itu pernah terjerat kasus narkoba pada 1997. Sejak itu pula, Kurniawan diidentifikasi sebagai pemain indisipliner, ugal-ugalan, dan akrab dengan dunia malam. Karirnya merosot. Rumah tangga yang dibinanya bersama Kartika Dewi berantakan alias cerai.
"Saat itu, saya masih muda. Saat ini, saya merasa sudah lebih matang dan masa inilah yang membuat saya berhenti. Memang, penyesalan pasti ada di belakang. Kini, konsentrasi saya adalah bagaimana mengakhiri karir di sepak bola dengan torehan yang positif," ujar Kurniawan.
"Hal yang paling terasa saat memutuskan berhenti adalah saya menyadari bahwa sepak bola adalah urat nadi hidup saya. Sepak bola merupakan hal yang berharga. Apalagi, banyak hal yang saya korbankan demi meniti karir di sepak bola, baik itu sekolah, keluarga, masa indah bersama teman-teman di Magelang," imbuhnya.
Dengan kesadaran tersebut, kini Kurniawan mencoba belajar lagi. Kurus kembali mencoba menikmati sepak bola sebagai kegemarannya yang mendatangkan tawa ceria dan bahagia. Kegemaran yang tentunya seperti yang dirasakan kala Kurus bergelut dengan si kulit bundar di tanah kelahirannya, Magelang. Kegemaran layaknya di Diklat Salatiga sebelum dia bergabung PSSI Primavera pada 1993.
Kurniawan sadar, rasa sesal dan keputusannya untuk sembuh dari jerat narkoba tidak bakal membawanya menyandang seragam Sampdoria kembali. Seragam yang nyaris membawanya bermain di Seria A kala Sampdoria dilatih Sven Goran Eriksson musim 1996.
Tapi, rasa sesal itu perlahan mulai menghadirkan prestasi lagi ke dalam dekapan Kurniawan. Ya, Kurniawan sudah merasakan nikmat gelar juara Liga Indonesia dua kali. Yang pertama, dia raih bersama PSM Makassar musim 2000, kemudian bareng Persebaya Surabaya pada 2004.
Di musim kompetisi 2007, bersama Persitara Jakarta Utara, ayah Tazkia Aulia dan Anissa Azzahra itu pun telah menunjukkan tajinya. Kecerdikan dalam menipu lawan, sentuhan, dan kecepatannya dalam bermain bola kembali terlihat menawan. Urusan merobek jala lawan, Kurniawan juga kembali trengginas.
Koleksi golnya musim ini memang jauh dibelakang bomber Persik Kediri Christian Gonzalez. Tapi, dibandingkan dengan striker-striker yang kini menjadi langganan tim nasional, Kurniawan tidak kalah bersaing. Hingga akhir babak reguler Liga Indonesia, pemain bertinggi 173 centimeter itu telah menyumbang 12 gol bagi Persitara.
Donasi golnya hanya selisih satu gol dengan koleksi Boaz Salossa. Atau, terpaut empat gol milik Bambang Pamungkas (16 gol) serta selisih tiga gol dari Aliyudin. Namun, koleksi Kurniawan tersebut mampu melewati perolehan striker-striker lokal lainnya. Misalnya, Saktiawan Sinaga, Rudi Widodo, Budi Sudarsono, dan Rahmat Rivai.
"Saya sudah susah payah meniti karir di sepak bola. Karena itu, mengapa saya harus membuangnya percuma. Saya ingin sampai mati di sepak bola. Sepak bola juga telah menjadikan saya berguna bagi bangsa dan saya ingin kembali seperti itu," tegas Kurniawan.
Ekspektasi Kurniawan memang cukup rasional. Bukan hanya karena dia kembali tajam sebagai striker, tapi usia Kurniawan yang baru 31 tahun masih cukup membuatnya untuk berkiprah di tim nasional.
Langkah awal telah dicatat Kurniawan. Saat Indonesia beruji coba dengan Borussia Dortmund (19/12) lalu, Kurniawan kembali berseragam Merah Putih. Lebih dari itu, musim ini Kurniawan juga berperan besar meloloskan Persitara ke Superliga 2008. Kurniawan-lah penyumbang gol terbanyak bagi tim yang terpinggirkan oleh kebesaran Persija Jakarta tersebut. Kurus juga merupakan kapten Persitara.
"Tapi, saya juga tetap tahu diri. Kalau saya memang sudah tidak pantas bermain dan menjadi pemain profesional, saya akan gantung sepatu. Yang jelas, untuk saat ini, saya masih merasa mampu dan belum punya niat untuk gantung sepatu," terangnya.
dikutip dari : http://hi-in.facebook.com/topic.php?uid=53975482878&topic=11797
0 komentar:
Posting Komentar